Melawan Kanker dengan Semangat
22 October 2013 at 19:59
Sumber : CISC (Cancer Information and Support Center)
By: Joseph Berliarang
Survivor Kanker Nasofaring
Siapa
tak kenal petinju Mike Tyson? Saya yakin, hampir semua orang
mengenalnya. Dengan ciri khas wajah seram dan leher betonnya, Mike Tyson
adalah sosok yang mudah dikenali. Saya pernah memiliki kemiripan dengan
Tyson. Leher saya besar, sama seperti petinju berleher beton itu.
Perasaan saya sendiri biasa-biasa saja, apalagi leher beton saya
didukung oleh perawakan saya yang gemuk. Berat badan saya 82 kg saat
itu. Padahal, itulah tanda-tanda kanker nasofaring menyapa saya.
Dikira Gemuk Ternyata Kanker
Selama
beberapa bulan, bahkan hitungan tahun, leher saya sudah mulai “lebih
tebal”. Namun, hal ini terjadi bersamaan dengan bertambah gemuknya badan
secara keseluruhan sehingga hal yang sebenarnya terjadi di leher
menjadi terabaikan. Saya dan orang-orang dekatpun mengira, pembesaran
leher ini akibat badan saya yang bertambah tambun. Dengan berat tubuh
mencapai 82 kg, tinggi badan saya hanya 165 cm.
Salah satu
sifat saya yang kemudian menjadi satu kelemahan adalah tidak suka
mengeluh. Saya menjalani hidup apa adanya. Jadi, perubahan yang terjadi
dalam tubuh saya, terutama leher, menjadi terabaikan juga oleh istri,
anak, ataupun teman yang setiap hari bertemu. Lain cerita dengan teman
yang lama tidak bertemu saya. Bentuk leher ini mengusik perhatiannya.
Saat
itu, akhir Januari 2008, saya sedang menghadiri acara pertemuan warga
usia lanjut di daerah kediaman saya, Sentul, Bogor. Saya bertemu dengan
tetangga yang kebetulan seorang ginekolog, Dr. Obert. Dia mengatakan
agar saya memeriksakan leher saya ke dokter. Menurutnya, pembesaran di
leher saya tampaknya tak wajar. Dan, dia mencurigai pembesaran leher
adalah kanker.
Bukannya merasa khawatir, saat itu saya
justru merasa kaget sekaligus agak kesal. Saya merasa dia mengejek
bentuk fisik leher saya. Lain hal dengan istri saya. Dia menjadi risau
dan memaksa saya memeriksakan leher ini. Padahal, selama ini tidak ada
gejala apapun. Saya sendiri selama bertahun-tahun tidak pernah merasakan
sakit apa pun di leher saya. Desakan istri membuat saya menyerah.
Kemudian,
saya memeriksakan leher di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Di sana,
saya berkonsultasi dengan Prof. Dr. Marzuki Suryaatmadja. Yang sekaligus
dokter keluarga dan Spesialis Patologi Klinik. Saya pun menjalani tes
laboratorium untuk pemeriksaan darah lengkap, USG, dan MRI. Seperti
Dr.Obert, Prof.Marzuki menganggap serius pembengkakan di leher ini
sehingga saya diminta untuk segera melakukan biopsi. Dari sini, hasilnya
makin jelas. Ternyata, saya memang terkena kanker nasofaring!
Kanker
nasofaring adalah kanker yang tumbuh di rongga belakang hidung, di
belakang langit-langit rongga mulut, dan sangat mudah menyebar ke mata,
telinga, kelenjar leher, dan otak karena letaknya dekat dengan hidung,
telinga, dan lubang di dasar tengkorak tempat keluarnya saraf yang
mengatur gerak bola mata, kelopak mata, lidah, sebagai fungsi menelan.
Tak
tanggung-tanggung, stadium kanker ini sudah di stadium 4B. Ini stadium
lanjut. Di leher kiri saya ditemukan daging yang sudah besar dengan
panjang sekitar 15 cm. Inilah yang menyebabkan leher saya membesar
seperti Mike Tyson.
Yang lebih mengejutkan, dengan
stadium tersebut, usia saya diperkirakan tinggal beberapa bulan lagi.
Saat itu, usia saya 53 tahun. Saya sedang bersemangat untuk
mengembangkan usaha baru. Tinggal menunggu izin dari Badan Pengawasan
Obat dan Makanan untuk memasukkan produk suplemen dari USA. Namun,
rasanya kanker ini menghancurkan segalanya. Saya sedih sekaligus kecewa.
Hari
itu saya hanya merenung. Duduk di bangku taman belakang rumah. Saya
merenung sejak pukul 23 hingga pukul 5 pagi. Saya tidak bisa tidur sama
sekali. Saat itu saya bingung. Rasanya, sepanjang perjalanan hidup saya,
saya tidak merasa pernah berbuat dosa besar. Tapi, mengapa Tuhan begitu
kejam memberikan penyakit ini? Saya merasa tidak pantas dianugerahi
kanker, apalagi kanker stadium 4.
Syukurlah, pada
dasarnya, saya orang yang punya semangat tinggi. Saya tak mau
berlama-lama meratapi nasib. Apapun kehendak Tuhan, baik manis maupun
pahit, pasti ada hikmahnya. Mungkin bukan sekarang, bisa jadi nanti.
Tepat pukul 05.00, saya mendadak merasa bersyukur. Saya bersyukur
penyakit itu menimpa saya. Bukan menimpa istri atau kedua anak saya.
Anak saya yang tengah kuliah di luar negeri awalnya ingin pulang ke
Indonesia. Namun, saya larang. Saya beri tahu dia bahwa saya pasti akan
sembuh.
Saya pun merasa, penyakit ini bukan lagi beban.
Oleh karena itu, ketika seorang dokter onkologi yang memeriksa terkejut
melihat saya datang berobat kanker dengan stadium sudah mencapai 4,
dengan bercanda saya menjawab, “Maklumlah Dok, ini gara-gara saya sering
bergaul dengan pejabat golongan atas. Jadi, untuk kanker, ya yang
teratas, ya ... stadium 4 toh.”
Mendengar jawaban saya,
dokter ini pun tertawa. Dia meyakinkan bahwa saya pasti sembuh karena
pasien stadium 4 biasanya sudah tidak ada yang bercanda, alias serius.
Dengan kata lain, saya akan mampu mengatasi kanker nasofaring stadium 4
ini.
Gejala Kanker Nasofaring
Kanker
nasofaring pada stadium dini sering kali sulit diketahui karena
letaknya yang tersembunyi di belakang rongga hidung atau di belakang
atas langit-langit rongga mulut.
Gejala dini, antara lain:
- Pada
telinga: berupa suara berdengung dan terasa penuh pada satu sisi tanpa
disertai rasa sakit sampai dengan pendengaran berkurang.
- Pada hidung: berupa mimisan sedikit dan berulang, ingus bercampur darah, hidung tersumbat terus-menerus, dan pilek di satu sisi.
Sementara gejala berlanjut, di antaranya:
- Leher: kelenjar getah bening leher membesar
- Mata: juling, penglihatan ganda, kelopak mata menutup pada sisi yang terkena
- Kepala: nyeri dan sakit.
Turun Berat Badan 27 kg
Profesor
Marzuki memperkenalkan saya kepada Dr.Lugyanti, seorang onkolog dari
RSCM. Menurut Dr.Lugyanti, saya tidak usah dioperasi, tetapi menjalani
paket kemoterapi dan radiasi. Saya pun menjalani kemoterapi di RSCM
begitu diagnosis KNF (Kanker Nasofaring) saya positif. Persiapannya
membutuhkan waktu hampir satu bulan.
Jadi, selama
seminggu saya kemo, dua minggu kemudian saya istirahat. Ini dilakukan
selama tiga kali. Setelah itu, setiap Senin pagi saya dikemoterapi, lalu
siangnya saya diradioterapi mulai Senin hingga Jumat (waktu kerja)
selama 7 minggu berturut-turut, nonstop.
Saya orang
yang sangat bersemangat. Memandang segala sesuatunya dari sisi positif.
Namun, saat menghadapi kemoterapi, saya sempat kolaps juga. Efek samping
kemoterapi memang dahsyat. Mual dan mau muntah terus. Badan juga lemas
sekali. Kemudian, saya sering mengalami halusinasi berat. Saya pernah
merasa ada orang berjalan dan menembus badan saya. Saya pun pernah
hendak menelepon temannya teman saya pada pukul 02.00. Saya mendadak
bangun. Untunglah pikiran waras saya bekerja. Ini jam dua pagi, masa
menelepon temannya teman saya dini hari. Jadi, gejala itu mungkin yang
agak berat.
Saking habis tenaga karena kemoterapi,
pernah suatu malam saya hanya bisa merangkak menuju kamar mandi. Malam
itu, istri saya sedang menjaga. Tapi, dia sangat kelelahan sehingga
tidak menyahut ketika saya minta bantuan. Padahal, muntah sudah tidak
bisa ditahan. Ketika sampai di kamar mandi, hanya angin yang keluar.
Semangat
hiduplah yang membuat saya bertahan. Tak terbayangkan sebelumnya jika
orang seperti saya bisa juga “down”. Tapi, saya coba mengingat Tuhan dan
orang-orang yang saya cintai. Begitupun untuk semua teman di luar yang
sedang berjuang sembuh, ingatlah, sakit itu hanya sementara. Saya tahu,
saat menjalani kemo, orang-orang sering merasa kesepian.
Usai
kemoterapi, rambut saya rontok, botak, dan badan kurus! Berat badan
turun 11 kg. Berat badan ini terus merosot turun lagi setelah
radioterapi. Total usai terapi kanker, berat badan saya turun 27 kg.
Dari berat 82 kg turun hingga 55 kg. Jadi, kalau berjalan, saya sudah
seperti zombie, mayat hidup. Orang-orang yang melihat saya mungkin juga
ketakutan. Berat badan saya anjlok 27 kg hanya dalam rentang waktu empat
bulan. Tepatnya, akhir Januari 2008, saya divonis kanker nasofaring
ini.
Di balik kepahitan, pasti ada hal yang manis.
Itulah hukum alam. Mengidap penyakit kanker ini memang membawa hikmah
tersendiri. Contohnya, karena rambut saya botak akibat kemoterapi,
sekarang tumbuh lebih bagus. Dahulu, berat badan saya 82kg, sekarang
maksimal 70 kg. Bernapas pun kini lebih enak.
Oleh karena itu, jangan cuma lihat jeleknya. Sebetulnya, sisi positifnya jauh lebih banyak.
Apalagi saya sekarang mendapat teman-teman sesama penderita kanker.
Kalau dipikir-pikir, kemoterapi dan radioterapi memang berat, tetapi
kalau kita punya semangat yang kuat, semua bisa teratasi.
Bagian Leher LengketSaat
menjalani kemoterapi, kanker saya sudah memanjang 15 cm di leher
sebelah kiri, dari depan ke belakang. Setelah dikemo, puji syukur kepada
Tuhan, kanker sepanjang 15 cm itu berkurang. Hingga kemudian tinggal 7
cm. Nah pada saat itu, baru saya ditimpa radioterapi karena radioterapi
itu bisa memakan kanker sampai ke akar-akarnya. Untunglah radioterapi
itu cepat. Paling lama cuma dua menit.
Akibat
radioterapi, pelan-pelan mulut saya terasa aneh. Lengket. Sampai
sekarang, mulut saya masih terasa lengket. Dan seperti pernah saya
tanyakan kepada Profesor Susworo secara langsung,”Dok, apakah saya akan
kembali normal?” Beliau hanya bisa memprediksi keadaan saya kembali
normal hanya 70%-75%. Hebatnya, saat kemoterapi maupun radioterapi, saya
berani menyetir mobil, bolak-balik Jakarta-Sentul. Tapi, kemudian saya
dimarahi dokter karena takut terjadi kecelakaan. Kekhawatiran dokter
benar, saya mengalami dua kali tabrakan. Kecil sih ... tapi ini sudah
peringatan agar saya hentikan dulu gaya tak mau merepotkan orang lain
itu.
Saat menjalani radioterapi, daerah leher yang
digempur sinar radioaktif itu mengakibatkan kulit luar terbakar seperti
borok. Orang-orang yang melihat sayapun ketakutan. Wajar sih. Bayangkan,
wajah saya sudah begitu tirus, lalu dihiasi luka-luka yang cukup
membuat orang eneg melihatnya.
Kanker leherpun membuat
sulit sekali makan. Jadi, sama sekali tidak ada pantangan bagi saya.
Sudah bagus jika saya bisa makan. Bayangkan ketika menjalani
radioterapi, makan saus tomat saja saya sudah kepedasan. Saat itu, saya
tidak bisa makan cabai. Makanan yang paling enak bisa berubah menjadi
makanan paling tidak enak.
5 Besar Peringkat Kanker di Indonesia
Kanker nasofaring menempati urutan keempat terbanyak di antara semua jenis kanker di Indonesia.
Hasil pendataan di sejumlah rumah sakit rujukan memperlihatkan, ada
rata-rata 100 kasus baru kanker nasofaring per tahun di RSUP Cipto
Mangunkusumo, 70 kasus baru per tahun di RS Kanker Dharmais, dan 60
kasus baru penyakit itu setiap tahun di RS Hasan Sadikin, Bandung.
Angka kasus pada pria 2,18 kali lebih tinggi daripada perempuan.
Dokter Indonesia itu Bagus
Ketika
pengobatan ini berjalan, saya sempat bertanya ke dokter tentang peluang
hidup saya. Saya meminta pertanyaan itu dijawab dengan jujur. Kalau
saya sudah mengeluarkan biaya mahal, tapi tidak selamat juga, bukankah
lebih baik uang itu digunakan untuk biaya anak-anak saya sekolah, bukan?
Sayapun ingin bertemu dengan teman dan lawan saya untuk minta maaf.
Tujuannya, supaya saya bisa meninggal dengan tenang. Jadi, bukan
menyesali, melainkan agar secepat mungkin bertobat dan berdamai dengan
semua orang.
Lagi-lagi, secara diplomatis dokter
menjawab bahwa melihat saya begitu bersemangat, ia yakin saya akan tetap
survive. Dokter bilang, saya tahan banting dan penuh semangat. Ia
bilang, jarang melihat pasien seperti saya.
Melihat keadaan saya
sewaktu dikemoterapi dan radioterapi yang demikian parah, banyak yang
menyarankan agar saya berobat keluar negeri, ke Eropa atau Guangzhou
khususnya. Saya memang lama tinggal dan bekerja di Eropa. Seperti cerita
di film-film, saya memulai kerja di luar negeri itu dari bawah. Dari
seorang buruh pelabuhan hingga kemudian saya menemukan celah untuk
menjadi pengusaha.
Pemikiran ke luar negeri ini pun
pernah terlintas di benak. Apalagi saat saya cekcok dengan istri. Yah,
sewaktu sakit ini, mood saya memang sering memburuk. Mungkin, ini
pengaruh obat kemoterapi atau pengaruh rasa sakit dan tak nyaman yang
saya rasakan. Atau, pengaruh saya merasa tak lagi berguna dengan adanya
kanker yang menggerogoti.
Nah, saat mood jelek, siapa
lagi yang jadi sasaran kalau bukan orang terdekat, yakni istri? Di mata
saya waktu itu, semua yang dilakukan istri sering salah. Kalau
diingat-ingat kelakuan saya dulu, rasanya maaf saja tak cukup untuk
memperbaikinya. Misalnya ketika saya meributkan soal biaya rumah sakit,
istri saya bahkan mengatakan,”Biarlah itu urusan saya. Kalau masih ada
kesempatan harus diambil.” Seharusnya saya berterimakasih mendengar
jawaban itu. Yang terjadi malah sebaliknya. Sempat malah terpikir untuk
bercerai. Pokoknya, saya mau ke luar negeri. Saya akan menjalani
pengobatan sendiri, semampu uang yang saya pegang. Biarlah kalaupun
mati, saya mati sendirian saja. Saya tak mau membebani keluarga.
Mendengar
itu, istri tak banyak menanggapi. Dengan tegar, ia tetap mendampingi
saya. Saya tidak tahu apakah istri saya pernah mengangis. Yang saya
tahu, sejak positif dinyatakan kanker, didepan saya dia tidak pernah
menangis. Padahal, kalau nonton film India saja ia pasti menangis ...
Saat
ribut soal keuangan untuk pengobatan inilah, terpikir oleh saya untuk
berobat keluar negeri tempat saya bekerja dulu, Belgia.
Namun, dari
diskusi bersama teman-teman dan dokter di sana, ternyata penyakit kanker
nasofaring adalah penyakit Asia. Jadi, pengobatannya lebih baik di
Hongkong, Cina, atau tetap di Indonesia karena secara medis yang lebih
berpengalaman menangani kanker ini adalah dokter-dokter di Asia
ketimbang Eropa.
Sayapun memutuskan untuk tetap
berobat di sini di Indonesia. Kebetulan sekali Profesor Marzuki dari
RSCM sendiri bilang,tidak usah berobat jauh-jauh, lebih baik di RSCM
saja. Ia kemudian mengenalkan kepada dokter-dokter dalam negeri yang
kemudian memberikan hasil yang baik sekali. Saya pun merasakan
pengobatan di Indonesia lumayan bagus. Perawatannya baik sekali.
Dokter-dokternya sangat mendukung dan sangat membantu.
Jadi, kalau
dikatakan dokter Indonesia payah-payah, saya tidak setuju.
Persoalannya, dokter itu manusia, ada yang baik dan ada yang kurang
baik.
Hanya kebetulan, kalau sedang sial, kita bertemu dokter yang
tidak etis dan tidak bermoral; yang hanya memikirkan uang; atau, yang
dokter tidak suka ditanya-tanya pasiennya. Jika bertemu dokter semacam
ini, saran saya lebih baik pindah saja. Sebagai pasien, Anda punya hak.
Semangat dan Mental Jangan Sampai JatuhSebenarnya,
jika sudah masuk stadium 4B, berarti harapan hidup sudah minim. Jadi,
semangat, berdoa, dan dukungan keluarga sangat dibutuhkan, selain medis.
Mengidap
kanker memang tidak mudah. Semangat saya kadang turun saat melihat
banyak teman yang dirawat bersama akhirnya meninggal satu per satu.
Bahkan, dalam sehari pernah ada tiga orang yang meninggal karena kanker
prostat, rahim dan payudara. Padahal, pada saat menjalani perawatan
bersama, saya melihat mereka sehat-sehat saja. Terus terang, kenyataan
ini sering membuat saya down.
Beruntung, pada masa
pengobatan berjalan, kami mendapatkan informasi dari dr.Marlinda, Sp,THT
bahwa di Jl. Imam Bonjol, Jakarta, ada grup pendukung kanker yang
bernama CISC. Kami pun coba mencari informasi. Ternyata, kakak sulung
salah satu pendiri CISC, Aryanthi Baramuli, adalah teman kecil saya.
Bagi saya, tentunya ke Jl.Imam Bonjol 51 sekaligus bernostalgia. Apalagi
setelah masuk kelompok ini, saya merasakan teman-teman yang sangat baik
dan mendukung.
Dari banyak berteman dengan sahabat-sahabat di CISC, saya melihat semangat yang harus dikobarkan.
Mental
jangan jatuh sekalipun kita menghadapi stadium lanjut. Mental juga
jangan jatuh sekalipun kanker itu kambuh kembali dan menyebar.
Buktinya, saya sendiri. Meski sudah stadium 4, saya tidak setuju jika
hidup itu sudah dibilang akan berakhir. Bukan hanya saya, banyak orang
lain yang sudah stadium 4 tetap survive.
Parahnya, di
negeri ini banyak orang percaya pada jalan pengobatan alternatif.
Misalnya, dengan meminum air kencing dan semacamnya. Bagi logika saya,
masa belajar dokter itukan begitu lama. Untuk jadi dokter saja, perlu
waktu enam tahun. Mengambil spesialisasi, berarti tambah 4-5 tahun lagi.
Berarti, begitu banyak yang dipelajari dokter. Masa orang hanya minum
air kencing bisa sembuh? Ini jelas tidak masuk akal. Apabila ada yang
bilang, dengan digosok sedikit dan didoakan, bisa sembuh dari kanker.
Saya
sendiri pernah berdebat dengan orang yang berpikiran jika sakit, dia
tidak perlu ke dokter karena hal itu sudah digariskan Tuhan. Tuhan lebih
dari segala dokter. Saya lalu tanya dia,”Apakah dokter ciptaan Tuhan?
Apakah tidak lebih tepat jika dikatakan Tuhan menggunakan dokter untuk
menyembuhkan pasien-pasiennya?”
Yang sering terjadi dan saya
lihat, orang yang awalnya stadium dini, mendadak berubah menjadi stadium
lanjut karena orang ini lebih percaya pengobatan alternatif daripada
dokter. Bagi saya, kalau hanya dengan disentuh atau didoakan saja sudah
sembuh, berarti si pengobat alternatif ini seharusnya dapat penghargaan
Nobel. Nyatanya, kan, tidak.
Hindari Makan yang Diasap/Dibakar
Setelah
pengobatan kanker, tubuh memang sangat rentan karena kemoterapi tak
hanya menghabisi sel-sel kanker, juga sel-sel yang baik. Paling tidak,
enam bulan sampai satu tahun, daya tahan tubuh menjadi lemah sekali.
Jika orang normal batuk sedikit, penderita kanker pasti ikut kena dan
bisa lebih parah. Bahkan, jalan kaki pun sering terpeleset. Oleh karena
itu, saya senantiasa berusaha menghindari berbagai faktor pemicu virus
atau bakteri.
Gaya hidup harus sehat dan rajin berolahraga. Kebetulan rumah saya di kawasan Sentul. Jadi, udaranya masih cukup bagus. Setiap hari, saya manfaatkan untuk jalan pagi.
Setelah
terapi selesai, saya memang disarankan untuk hidup sehat. Berolahraga
secara teratur dan makan makanan yang menyehatkan.
Saya diharapkan tidak makan makanan yang diasinkan, seperti ikan asin, telor asin, makanan kalengan, dan yang dibakar.
Dan, jangan lupa kontrol secara teratur ke dokter untuk mendeteksi kekambuhan secara dini.
Kontrol, Apa yang Harus Dilakukan?
Melakukan
kontrol atau pemeriksaan rutin sering sekali menimbulkan rasa cemas,
takut dokter akan menemukan “sesuatu” lagi. Belum lagi ruang praktik
mengingatkan Anda saat kesakitan. Ini yang membuat beberapa orang enggan
mengecek kesehatannya secara teratur setelah lepas pengobatan kanker.
Atau , membuat kunjungan ini sesingkat mungkin.
Padahal,
kontrol adalah hal penting dalam rangkaian life after cancer. The
National Cancer Institute membuat daftar pertanyaan yang kira-kira
penting diajukan kepada dokter saat kontrol Anda:
- Seberapa sering saya harus memeriksakan diri lagi?
- Apa saja yang harus dilakukan dalam pemeriksaan itu, dan apakah itu yang selalu dilakukan dalam kunjungan berikutnya?
- Apa saja tanda atau gejala kanker saya muncul kembali atau semakin berkembang?
- Seberapa besar kemungkinan munculnya gejala itu?
- Perubahan apa saja yang terlihat, tetapi tidak membahayakan?
- Apa yang harus saya lakukan untuk mengubah pola makan?
- Apakah saya perlu mengubah rutinitas saya?
- Jika mengalami rasa sakit, apa yang harus saya lakukan?
- ü Bagaimana cara termudah mengontak dokter jika tiba-tiba saya ingin bertanya atau mengkhawatirkan keadaan diri saya?
- Adakah orang lain yang bisa saya ajak berkonsultasi jika kebetulan dokter berhalangan?
Pikirkan untuk Survive, Bukan Penyebabnya
Sampai
sekarang, saya tidak tahu apa penyebab kanker saya. Katanya, pencetus
nasofaring adalah makanan yang diasinkan, seperti ikan asin atau telur
asin. Kebetulan, saya orang yang paling tidak suka kedua jenis makanan
itu. Lalu, katanya ada faktor keturunan. Nyatanya, bapak saya meninggal
karena penyakit jantung, ibu saya meninggal karena komplikasi. Keduanya
meninggal tidak ada kaitannya dengan kanker. Jadi, tidak ada dari faktor
keturunan.
Hal yang memungkinkan adalah saya sering
mengonsumsi makanan kalengan. Sewaktu mahasiswa, saya sering makan
makanan ini. Dahulu, saya juga perokok berat. Tapi sebelum terkena
kanker saya sudah berhenti. Paru-paru saya bersih. Jadi, bukan rokok
penyebabnya. Dan sangat mungkin saya terkena virus karena penyebab utama
kanker nasofaring adalah infeksi virus Epstein Barr.
Ketimbang
memikirkan penyebabnya, saya terus berusaha sehat saja. Jalankan pola
hidup sehat. Cobalah menikmati hidup dan jangan marah-marah. Dari
pengalaman saya bersama teman-teman penderita kanker merasakan bahwa sel
kanker itu hidup di makanan yang paling enak dan di emosi kita yang
marah/ negatif.
Jangan lupa, bergabunglah
dengan komunitas kanker. Dalam komunitas ini, kita akan dikuatkan
dengan melihat semangat untuk sembuh dan bertahan dalam menghadapi
kanker.
Dari Virus Hingga Proses PemasakanPenyebab
utama kanker nasofaring adalah infeksi virus Epstein Barr. Namun, ada
beberapa faktor lain yang memengaruhi atau memicu terjadinya penyakit
itu, yaitu:
- Faktor lingkungan, seperti iritasi oleh bahan kimia.
- Kebiasaan memasak dengan diasap/ dibakar.
- Sering mengonsumsi ikan asin yang diawetkan dengan nitrosamine dalam jangka panjang
- Mereka
yang di lingkungan kerjanya sering terpapar gas dan bahan kimia
industri, peleburan besi, formaldehida, dan serbuk kayu, berisiko
terserang penyakit ganas ini.
Termasuk juga mereka yang sering terpapar dupa atau kemenyan dalam jangka panjang, rentan terkena karsinoma nasofaring.